Jogja yang Katanya Kota Pelajar Serba Murah

Saya merupakan alumni dari salah satu universitas terbaik di Jogja, tepatnya universitas negeri yang tidak ada kata "negeri" nya.

Resmi menjadi mahasiswa Jogja sejak tahun 2019, tetapi hanya mencicipi perkuliahan luring selama 2 tahun saja akibat terjadi pandemi covid-19 yang menghentikan seluruh aktivitas perkuliahan secara tatap muka di kelas dan menggantinya dengan kuliah online.

Awal mula memilih Jogja sebagai tempat belajar

Sebagai seorang siswa SMA dengan kemampuan ekonomi orang tua yang bisa dibilang pas pasan, melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas membuat saya perlu berpikir ulang terutama mengenai kuliah di tempat dengan biaya hidup murah.

Sebagai seorang yang berasal dari Jawa Barat, kampus impian pertama saya tentu saja Institut Teknologi Bandung (ITB).

Namun, impian tidak selalu mudah tercapai karena cukup sulit bagi saya untuk bisa memetakan kemampuan ekonomi terutama masalah biaya hidup di Bandung yang relatif dianggap "mahal".

Dengan mendapatkan banyak masukan dari berbagai pihak, tersebutlah "Jogja" sebagai kota pelajar yang katanya biaya hidup serba murah.

Lalu akhirnya mantap dengan pilihan tersebut dan berusaha menggapai impian yang lebih masuk akal bagi saya agar bisa mengenyam pendidikan tinggi yang layak di Jogja.

Sebagai informasi, biaya pendidikan saya ditanggung penuh oleh pemerintah melalui program Bidikmisi yang sekarang berubah nama menjadi KIP Kuliah.

Saya termasuk orang yang sangat berterima kasih banyak kepada pemerintah atas adanya program tersebut.

Desclimer on, tulisan ini tentu saja tidak ada kepentingan apapun dengan program beasiswa pemerintah itu ya. Ini murni berbagi pengalaman nyata yang saya alami sendiri.

Pertama kali menginjakan kaki di kota pelajar

Pertengahan tahun 2019 tepatnya akhir bulan Juli untuk pertama kalinya saya menginjakan kaki di kota pelajar yang banyak jadi impian para mahasiswa baru dari luar Jogja yang ingin mengenyam pendidikan dengan biaya yang "murah".

Suasana Malam Malioboro Yogyakarta
Suasana Malam Malioboro Yogyakarta

Namun, pengalaman pertama saya sampai di Jogja justru tidak sesuai dengan ekspektasi bahwa Jogja adalah kota pelajar yang serba murah.

Di hari pertama bahkan saya tidak berhasil menemukan kost-kostan putra dengan harga di bawah 400 ribu/bulan yang bisa diakses cukup jalan kaki alias tidak terlalu jauh ke kampus.

Alhasil hari pertama di Jogja harus menginap di tempat saudara dengan jarak kurang lebih 5 km ke kampus.

Bersyukur keesokan harinya saya menemukan kostan dengan harga sekitar 400 ribuan lebih per bulan dan cukup layak untuk ditempati.

Walaupun sebenarnya harga sewa kost 400 ribu/bulan saja sudah memotong dana 60% dari beasiswa yang saya terima per bulannya.

Padahal ekspektasi saya adalah biaya kost bisa cukup dengan 350 ribu/bulan, tapi faktanya itu sangat sulit.

Biaya hidup murah?

Ngomong-ngomong tentang biaya hidup murah di Jogja, tentu saja ada kaitannya dengan biaya makan.

Rata-rata biaya makan di Jogja untuk ukuran beli nasi sayur dan telor harganya sekitar 7 - 10 ribu sekali makan. Katakanlah sehari makan 2x bagi mahasiswa, maka rata-rata pengeluaran untuk biaya makan saja memerlukan 600 ribu per bulan.

Sehingga jelas jika saya hanya menggantungkan diri pada beasiswa yang diterima akan menunjukkan ekuitas negatif dalam laporan keuangan pribadi saya, hehe.

Akhirnya saya dituntut untuk mencari alternatif lain agar bisa menekan biaya pengeluaran untuk makan.

Dipilihlah alternatif masak nasi sendiri dengan perhitungan beli beras 15 kg harga 165 ribu, di mana beras 0,5 kg dan beli lauk sayurnya saja dengan harga 5-10 ribu sudah bisa makan 2-3 kali per hari.

Sehingga biaya makan sudah bisa ditekan hingga 200 ribuan. Walaupun demikian, arus kas masih tetap negatif, tetapi lebih mendingan daripada skenario sebelumnya, haha.

Adapun kekurangannya masih tercover dari bekal bulanan orang tua yang tidak banyak tapi cukup untuk keperluan-keperluan penting saja tanpa perlu melakukan pinjaman online ataupun yang lainnya.

Terkadang biaya lain-lain yang tidak terduga menyebabkan percepatan dalam penghabisan kas pribadi, sehingga mencari pendapatan tambahan menjadi diperlukan, tentu saja dengan cara yang baik ya misalnya ngajar les private, jadi penulis lepas, bisnis online, dll.

Jogja kota pelajar

Istilah kota pelajar memang pantas disandang oleh Jogja, banyak sekolah mulai dari negeri hingga swasta yang berlabel sekolah internasional di Jogja.

Begitu juga universitas, sekolah tinggi dll, hampir di setiap sudut kota di Jogja ada universitas. Bahkan ntah ini termasuk sisi gelap atau bukan, buku ilegal (print copy) sebagai buku pegangan kuliah yang dijual jauh lebih murah sangat mudah ditemukan di Jogja.

Terdapat tempat khusus jual beli buku ilegal tersebut di sekitar Terban yang mana hampir di sepanjang jalan 100 meteran lebih toko buku semua, ntah sekarang masih ada atau tidak, tapi yang jelas terakhir saya ke sana awal 2020 masih ada.

Di Jogja, suasana untuk belajar pun sangat mendukung karena memang banyak mahasiswa dari berbagai universitas.

Sehingga kasarnya, pergi ke warmindo untuk nongkrong sambil diskusi pun tidak terlalu bermasalah. Jadi, dari sisi kota pelajar memang Jogja tidak perlu diragukan lagi.

Kesimpulan

Kesimpulannya, Jogja yang katanya kota pelajar serba murah itu kembali kepada pribadi masing-masing.

Menurut saya, tinggal di Jogja itu ibarat diberi pilihan, bisa milih sederhana sehingga bisa menganggap relatif murah, bisa juga milih mewah tetapi dampaknya akan terasa sama mahalnya seperti tinggal di kota-kota lain.

Jadi memukul rata bahwa Jogja adalah kota pelajar yang serba murah tidak bisa dibenarkan, tapi juga tidak bisa disalahkan karena tinggal di Jogja punya dua pilihan tadi.

Pilihan itulah yang kemudian bisa menjadi alasan untuk memilih Jogja sebagai tempat yang nyaman dan tepat bagi pelajar khususnya mahasiswa dengan kemampuan ekonomi yang "kurang beruntung".

Catatan, pengalaman terkait dengan harga sewa kost yang dipaparkan hanya melihat dari sudut pandang laki-laki. Biasanya untuk perempuan biaya paling murah sekitar 500 ribu/bulan berdasarkan pengalaman dari teman saya yang perempuan.

Tomi Nurhidayat

Data Science dan Machine Learning Enthusiast | SEO Enthusiast.

Previous Post Next Post